Oleh. Abdus Shomad. SH
Pimpinan media indo pers
Dalam ranah hukum pidana Indonesia, istilah persekongkolan jahat sering kali muncul dalam kasus-kasus besar yang melibatkan lebih dari satu pelaku. Istilah ini merujuk pada kesepakatan atau kerja sama antara dua orang atau lebih untuk melakukan tindakan kriminal.
Secara yuridis, persekongkolan jahat dapat dimaknai sebagai bentuk permufakatan jahat, yang telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Meski tindak pidana belum terjadi, kesepakatan untuk melakukannya dapat dikenai sanksi hukum, tergantung pada jenis kejahatan yang direncanakan.
Menurut Abdus Shomad. SH pimpinan media indo pers hukum, permufakatan jahat kerap ditemukan dalam tindak pidana seperti terorisme, pengedaran narkotika, korupsi, hingga makar terhadap negara. "Tidak semua permufakatan bisa dihukum. Harus ada dasar hukum yang menyatakan bahwa rencana kejahatan itu bisa dipidana, misalnya dalam UU Tindak Pidana Korupsi atau UU Narkotika," jelasnya
Kasus terbaru yang mencuat ke publik adalah dugaan persekongkolan jahat dalam pengaturan proyek pemerintah, yang menyeret beberapa nama pejabat dan pengusaha. Penyidik menyebut adanya komunikasi dan kesepakatan awal untuk memenangkan tender secara tidak sah, yang berpotensi melanggar hukum persaingan usaha dan pidana korupsi.
Dalam praktiknya, pembuktian permufakatan jahat bukanlah hal mudah. Penegak hukum harus menunjukkan adanya niat bersama yang nyata, misalnya melalui rekaman komunikasi, pertemuan rahasia, atau dokumen tertulis yang menunjukkan rencana kejahatan.
Persekongkolan jahat menjadi sorotan penting dalam sistem hukum karena menunjukkan bahwa niat jahat kolektif bisa mengancam ketertiban dan keadilan publik, bahkan sebelum kejahatan terjadi. Oleh karena itu, aparat penegak hukum terus didorong untuk lebih proaktif dalam mendeteksi dan menindak upaya kejahatan yang terorganisir sejak dini.
(Does 46)
Social Footer