Oleh: Abdus Shomad.SH
Pimpinan media indo pers
Di tengah jeritan rakyat menghadapi tingginya harga kebutuhan pokok, beban pajak justru terus bertambah. Pemerintah mengklaim penerimaan negara melalui pajak menunjukkan tren positif, namun di balik angka-angka itu terselip sebuah paradoks: pajak meningkat, tapi kesejahteraan rakyat tak kunjung membaik.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, hingga kuartal kedua 2025, penerimaan pajak telah mencapai Rp1.245 triliun — naik 8,2% dibanding periode yang sama tahun lalu. Namun kenaikan ini bersamaan dengan keluhan publik atas sejumlah kebijakan fiskal yang dinilai tidak berpihak pada masyarakat kecil.
Di di pasar tradisional pedagang sayur bernama Sari (38) mengeluhkan biaya distribusi yang kian melonjak setelah pemerintah memberlakukan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) baru atas bahan bakar industri. “Harga sayur naik bukan karena kami mau untung besar, tapi karena ongkos truk makin mahal,” katanya.
Tak hanya itu, aturan baru terkait pajak UMKM juga menuai protes. Banyak pelaku usaha kecil kini merasa dibebani dengan kewajiban administratif dan tarif yang sebelumnya tidak berlaku bagi mereka. Beberapa di antaranya bahkan memilih menutup usaha karena merasa tak sanggup bersaing di tengah tekanan fiskal.
Pajak untuk Siapa?
Pemerintah beralasan bahwa optimalisasi pajak dibutuhkan untuk menopang belanja negara dan pembiayaan program sosial. Namun, di sisi lain, pengeluaran negara kerap dinilai tidak efisien. Proyek-proyek infrastruktur megah terus dilanjutkan, sementara dana subsidi justru dipangkas.
Abdus Shomad.SH pimpinan media indo pers menyebut fenomena ini sebagai "pajak yang tidak membumi". “Idealnya, pajak menjadi alat distribusi keadilan. Tapi saat rakyat kecil makin terbebani dan manfaat tidak terasa langsung, maka kepercayaan pada sistem fiskal akan menurun,” ujarnya.
Ia juga menyoroti ketimpangan pengawasan terhadap para pengemplang pajak kelas atas. “Yang dikejar justru rakyat kecil yang tidak punya akses untuk berkelit, sementara korporasi besar masih bisa menyembunyikan kekayaan lewat celah hukum,” tambah Indah.
Di tengah sorotan terhadap ketimpangan ekonomi dan fiskal, banyak pihak mendorong reformasi pajak yang lebih adil. Wacana pajak kekayaan (wealth tax) kembali mencuat, namun hingga kini belum ada kemajuan signifikan. Sementara itu, rakyat kecil terus dibebani dengan pajak konsumsi yang bersifat regresif.
Di sebuah warung kecil seorang pedagang kopi merangkum paradoks ini dengan kalimat sederhana: “Katanya pajak buat rakyat, tapi kok yang menderita malah rakyat juga?”
Paradoks pajak di tengah derita rakyat bukan sekadar soal angka. Ia menyentuh jantung kepercayaan publik terhadap negara. Jika tidak segera dikaji ulang, bukan tidak mungkin sistem perpajakan justru menjadi alat penindasan baru yang dibungkus jargon pembangunan.
( Red)
Social Footer